Selasa, 21 April 2015

Otonomi daerah


Otonomi Daerah
Lahirnya kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dan menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan jawaban atas tuntutan reformasi politik dan demokratisasi serta pemberdayaan masyarakat daerah. Setelah selama hampir seperempat abad kebijaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang dibelenggu oleh sistem sentralisasi, pelaksanaan sistem sentralisasi tersebut membawa beberapa dampak bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diantaranya yang paling menonjol selama ini adalah dominasi pusat terhadap daerah yang menimbulkan besarnya ketergantungan daerah terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program pembangunan di daerahnya. Demikian juga dengan sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.

Kondisi tersebut mendorong timbulnya tuntutan agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat ke daerah. Desentralisasi adalah pembagian kekuasaan kepada daerah. Sistem desentralisasi di Indonesia hampir sama dengan sistem federal walaupun dalam beberapa hal ada pembedaan, misalnya dalam sistem federal yang lebih otonom adalah provinsinya sedangkan sistem desentralisasi yang lebih otonom adalah kabupaten atau kota. Otonomi daerah menurut UU nomor 32 tahun 2004 diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian daerah otonom mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah bukanlah berarti daerah otonom dapat secara bebas melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tersebut maka dimulailah babak baru pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kebijakan otonomi daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Hubungan antara desentralisasi dengan demokrasi yaitu bahwa dalam demokrasi kekuasaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat serta rakyatlah yang memilih. Dalam sistem sentralisasi, hubungan antara warga negara dan pemerintah pusat yang mengambil kebijakan-kebijakan publik tersebut terlalu jauh. Dengan desentralisasi jarak menjadi dekat. Dengan begitu aspirasi masyarakat diharapkan lebih bisa diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan publik sehingga akan lebih efisien, efektif dan keputusan yang dibuat pemerintah lebih dekat dengan aspirasi masyarakat.

Dalam demokrasi, keputusan-keputusan publik dibuat oleh pejabat publik yang dipilih oleh publik. Di pemerintahan daerah ada 2 komponen yang penting, yaitu bupati atau walikota dan DPRD. Kedua otoritas inilah yang mempunyai mandat untuk menentukan hitam-putih atau berwarnanya daerah tersebut. Tindakan mereka menentukan apakah masyarakat memandang kebijakan atau keputusan yang diambil pemerintahan daerah itu mencerminkan aspirasi masyarakat atau tidak? Dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu cara untuk menghukum atau memberi ganjaran terhadap pemerintahaan daerah. Apalagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan kesempatan kepada calon Independen untuk ikut bersaing dalam pemilihan kepala daerah. Calon Independen yaitu calon yang tidak berasal dari partai politik atau tidak didukung oleh partai politik sehingga masyarakat akan mempunyai banyak pilihan dan jarak dengan masyarakat relatif dekat, sehari-hari mereka bisa ketemu, mengontrol, mengeluh. Dengan begitu mekanisme kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan menjadi mungkin.

Adanya otonomi daerah atau desentralisasi membuat manajemen daerah bisa berkembang lebih baik, partisipasi masyarakat akan lebih tinggi karena dekat dengan kekuasaan dan dengan adanya kontrol dan pengawasan bisa membatasi ruang gerak apa yang disebut dengan korupsi dan antek-anteknya.

Sebagai catatan, suatu daerah dikatakan makmur atau sejahtera bukan hanya karena memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi bagaimana sumber daya manusia yang di dalamnya mau mengelola dengan baik dan mau bekerja keras untuk kemajuan daerahnya. Oleh karena itu ketersedian pendidikan, fasilitas dan teknologi sangat penting untuk kemajuan daerah.
Dalam keberhasilan beberapa pemerintahan daerah paska diberlakukannya otonomi daerah telah membuktikan bahwa desentralisasi memberi dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Kabupaten Jembrana, misalkan, sebuah kabupaten yang dahulu tidak terkenal dan bahkan tergolong miskin di provinsi Bali, dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun telah menjelma menjadi kabupaten percontohan bagi penyelenggara pemerintahan daerah belakangan ini dengan pendapatan asli daerah (PAD) meningkat drastis dan signifikan. Kegigihan dan ketekunan Bupati Jembrana yang melakukan berbagai gebrakan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas yaitu pendidikan gratis, asuransi kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, membuktikan hasilnya pada dukungan nyata masyarakat dalam Pilkada tahun 2006 kepada Bupati Winasa untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Hal yang sama juga terjadi pada Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Bupati Untung melakukan reformasi pada struktur birokrasi pemerintahan agar memudahkan penyelenggaraan pelayanan yang terpadu. Tujuannya sangat jelas, mudahnya pelayanan memiliki implikasi bagi kepercayaan kepada pemerintah. Peningkatan pendapatan daerah pun secara perlahan meningkat seiring dengan kepercayaan masyarakat dan investasi terhadap pelayanan yang diberikan. Dalam hal politik, kepercayaan tersebut diwujudkan dengan terpilihnya kembali Bupati Untung dalam Pilkada tahun 2006.
Dua daerah yang terkenal dengan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut memiliki karakter yang juga hampir sama yaitu memiliki kepemimpinan pemerintahan yang kuat disertai political will dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat luas. Hal ini ditandai dengan komitmen yang luar biasa dari pemimpin daerah tersebut sedari awal dengan melakukan reformasi dan restrukturisasi birokrasi untuk menunjang berbagai kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Namun demikian, kedua daerah tersebut masih menyisakan persoalan dalam hal tiadanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Sebagian besar program dan kegiatan pembangunan daerah berasal dari inisiatif pemerintah, baik dari kepala daerah ataupun jajarannya. Pembangunan model top down yang dikembangkan oleh kedua daerah tersebut memang terbukti efektif dikarenakan figur kepala daerah yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat. Persoalannya kemudian, seberapa besar dan luas masyarakat dilibatkan dalam setiap pembangunan yang ada di daerah tersebut? Dan seberapa besar pula pemerintah daerah memahami seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat di masing-masing daerah? Artinya bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pembangunan masih perlu dieksplorasi lebih lanjut kenyataan di kedua daerah ini.
Partisipasi dalam Pembuatan Kebijakan
Demokrasi perwakilan yang menekankan pentingnya perwakilan dari berbagai unsur masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan tengah dikritik. Keinginan masyarakat untuk terlibat dan tahu secara rinci mengenai proses pembuatan kebijakan tidak menjadi menarik manakala hal ini dinafikkan oleh para anggota legislatif dan pihak eksekutif bahwa yang mempunyai kewenangan atas proses pemutusan kebijakan adalah mereka atas dasar mandat dari rakyat. Akibatnya yang terjadi adalah masyarakat menjadi penonton di pinggir arena pembuatan kebijakan, dan hanya berperan baik sebagai penerima manfaat dan juga yang dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan.
Ide dalam perluasan partisipasi berasal dari Juergen Habermas yang memberi inspirasi bahwa perlu adanya ruang publik yang otonom di luar dari domain negara sebagai prasyarat pelibatan aktivitas masyarakat yang tidak semudahnya mendapat legitimasi terhadap sistem politik. Ruang publik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana debat opini, bersuara dan menyeleraskan posisi yang sama dengan argumentasi yang rasional. Habermas sebenarnya berkeingan agar setiap individu menjadi aktor yang penting dan berarti dalam komunitas politik.
Penekanan Habermas sebenarnya adalah tersedianya ruang publik yang ada dan terjamin di dalam konstitusi. Karena negara sebagai aktor dan institusi politik punya kewenangan yang luar biasa dalam mengarahkan maksud dan tujuan pembangunan, dengan atau tanpa keterlibatan masyarakat. Padahal objek dan penerima manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dalam hal tersebut, masyarakat sudah waktunya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang disampaikan oleh Habermas tadi. Pada masa lampau, untuk mengatasi adanya kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai tindakan politik dalam rangka memperkuat partisipasi dimana kelompok marjinal diberi kesempatan dan ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, penguatan kelembagaan juga dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi lebih responsif, akuntabel dan transparan terhadap berbagai tuntutan dari masyarakat. Pertanyaannya kemudian, dimana kelompok marjinal dan kelompok miskin bisa memperoleh ruang dan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah serta dimana pemerintahan yang berubah dapat mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya?[
Dalam beberapa tahun belakangan, konsep partisipasi politik telah berkonvergen dengan memperhatikan aspek pelibatan warga dalam formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan tersebut. Partisipasi politik yang dimaksud menjadi lebih dalam sebagai upaya warga dalam mempengaruhi pemerintah dan meminta komitmen terhadap akuntabilitasnya. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan tadinya hanyalah sebuah mekanisme konsultatif. Namun belakangan menguatnya kebutuhan dan perspektif dalam pelayanan seperti apa dan kebijakan yang semestinya harus ada, meyakinkan bahwa perlu ada peningkatan dan pendalaman partisipasi yang nantinya akan menjadi kontrol terhadap kehidupan mereka secara keseluruhan. Partisipasi warga dengan demikian dapat didefenisikan sebagai perluasan agenda masyarakat, di mana masyarakat dapat memobilisasi dan merumuskan tuntutannya.
Dalam banyak negara, upaya pelibatan kelompok marjinal dan kelompok miskin sudah terlihat. Hanya saja hal ini meyakinkan kita bersama bahwasanya mekanisme perwakilan tidaklah efektif dapat memberi pengaruh terhadap kebutuhan dan keinginan kelompok minoritas. Penekanannya kemudian masyarakat memiliki hak atas pembangunan tidak lagi diposisikan sebagai penerima manfaat. Hak akan menjadi kenyataan bila warga negara dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut hidupnya. Laporan UNDP terlihat jelas bahwa pemilu tidak lagi cukup untuk pemenuhan hak dari warga negara. Cara baru yang mesti ditempuh adalah bagaimana menjamin hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dicabut/dilanggar dan untuk memastikan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Disini terlihat bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak-hak dari warga negara, termasuk di dalamnya turut berpartisipasi dalam pembangunan.

OPINI :
Dalam teori serta konsep otonomi daerah ini yang tengah berkembang belakangan akan lebih baik lagi, maka patut dipertimbangkan untuk mendalami lagi apakah berbagai inovasi yang dilakukan oleh pemerintahan daerah sepenuhnya melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan. Dalam argumennya bila dikaitkan dengan cerita sukses pemerintahan daerah seperti Jembrana dan Sragen akan menjadi lebih bermakna bagi pemerintah dan juga masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan. Pemerintah daerah tahu dan mengerti apa yang dibutuhkan masyarakat dan masyarakat pun sadar bagaimana memanfaatkan ruang untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhannya kepada pemerintah daerah. Hal ini yang semestinya harus dikembangkan bagi daerah agar terciptanya keadilan bagi semua. 
Sumber : www.yappika.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar